Rabu, 25 Mei 2016

“Kembalinya” Nokia di Pertumbuhan Smartphone yang Datar

“Kembalinya” Nokia ke Bisnis Ponsel
     Nokia berencana untuk kembali ke bisnis ponsel. Perusahaan asal Findlandia tersebut memberi lisensi mereknya ke Global HMD untuk menjual smartphone dan tablet berbasis Android. Sebelumnya, Nokia mengambil strategi disinvestasi dengan  menjual bisnis ponselnya ke Microsoft senilai $ 7 milyar beberapa tahun silam.  Microsoft telah menjual divisi feature phone atau “dumbphone”, yang akan menggunakan merek Nokia, ke anak perusahaan Foxconn, FIH. HMD iuga berencana memasarkan ponselnya untuk FIH.
    Saat ini Nokia berfokus ke segmen infrastruktur komunikasi setelah mengakuisisi Alcatel – Lucent senilai $ 16,6 milyar awal tahun ini. Beralihnya fokus ke segmen B2B ini berdasarkan kemampuan finansial Nokia yang menjadi terbatas akibat “kalah”di bisnis ponsel. Ini merupakan terobosan tepat karena segmen tersebut termasuk menggiurkan. Dalam transaksi B2B, seringkali semua pihak terlibat miliki daya tawar yang sama.
     Keluarnya Nokia dari bisnis smartphone diakibatkan oleh keberadaan perusahaan itu di posisi “stuck in the middle” atau terjebak di tengah. Sempat ingin bersaing dengan perangkat - perangkat Android, tetapi sistem operasinya saat itu, Symbian, kurang diminati pengembang pihak ketiga. Penggunaan sistem operasi Windows setelah diakuisisi Microsoft juga tidak mengubah daya tariknya. Produknya juga kurang unik atau terdiferensiasi seperti iPhone, yang lebih diminati segmen konsumen atas.

Pertumbuhan Smartphone yang Mulai Datar
     Penjualan smartphone global untuk kuartal pertama tahun 2016 menurun 3 % year on year. Di Tiongkok, pasar terbesar smartphone, pertumbuhan penjualannya hanya 2,5 % tahun lalu, anjlok dari 62,5 % tahun 2013. Penjualan iPhone di kuartal pertama tahun ini menurun 16 %, penurunan pertama sejak perkenalannya tahun 2007. Persentase pertumbuhan yang disebutkan di atas menunjukkan segmen smartphone sudah mendekati tahap maturity. Seperti segmen lainnya, pertumbuhan smartphone yang sempat sangat pesat akhirnya akan melambat.  Alasannya, semua orang yang menginginkan smartphone sudah memilikinya. Kualitas smartphone telah meningkat, sehingga tidak perlu sering di – upgrade. Variasi spesifikasi dan harga juga bertambah, seperti Samsung Galaxy S7 yang dibandrol di atas Rp. 8.000.000 untuk pasar atas dan Rp. 1 jutaan untuk J – series. Keputusan Apple untuk merilis iPhone versi “terjangkau”, yakni iPhone SE, serta dijualnya Advan Vandroid EIC Pro 7” seharga Rp. 760.000, mencerminkan persaingan lebih fokus ke harga.
    Ketatnya persaingan juga ditandai oleh pesatnya pertumbuhan merek – merek smartphone Tiongkok seperti Oppo dan Vivo yang bersaing dengan Lenovo dan Xiaomi, serta merek – merek dari berbagai negara. Sebagai akibat, marjin laba penjual smartphone rata - rata juga mulai menurun. Hanya Apple sebagai merek untuk kelas atas yang mampu mengambil 92 % marjin laba segmen smartphone meskipun menjual kurang dari 20 % dari seluruh jumlah smartphone.
    Mendekati pertumbuhan puncak juga dicerminkan oleh kelebihan kapasitas dan tenaga kerja. Belum lama ini, perakit smartphone Foxconn dilaporkan menerima subsidi dari pemerintah Tiongkok, mungkin untuk tidak memberhentikan sebagian karyawannya. Meskipun Foxconn tidak memberi komentar, beberapa kalangan mulai khawatir dengan kemungkinan terjadinya PHK secara besar - besaran. Ini disebabkan oleh berkurangnya permintaan iPhone, sebagai smartphone yang paling banyak dirakit oleh Foxconn.

Peluang Merek Nokia
        Bersikeras untuk tetap bersaing di sektor konsumen, jika tidak mampu menjual keunikan atau menjadi pemain “low – cost”, bakal memberikan hasil mengecewakan.  Lini produk yang merugi di tahap maturity biasanya disingkirkan. Nokia sendiri sempat mengklaim risiko untuk kembali terjun ke segmen ponsel tidak terlalu besar, tetapi kerugian “kecil” jangan dianggap sepele. Melakukan subsidi silang juga akan menyembunyikan produk – produk merugi yang seharusnya diberhentikan. Strategi yang seharusnya diambil adalah meningkatkan frekuensi pembelian oleh pelanggan – pelanggan yang telah ada ketimbang mencari pelanggan baru. Pendekatan ini tidak memakan biaya sebesar berupaya untuk memperoleh pelanggan baru, yang berarti memperebutkan pangsa pasar dari pesaing seperi Apple dan Samsung.
     Meskipun Nokia telah memberi lisensi kepada perusahaan lain, akuisisi perusahaan pembuat perangkat keras Withings, berbasis di Perancis, belum lama ini menambah tingkat risiko Nokia di bisnis ponsel. Timbul pertanyaan persepsi diri (self perception) Nokia, FIH, dan HMD. Merek yang pernah memimpin pasar ponsel beberapa tahun yang lalu belum tentu bisa relevan lagi sekarang.  Cadangan kas yang mungkin banyak dari laba segmen infrastruktur telekomunikasi dapat memberikan semacam “cash trap” bagi Nokia untuk membangun pangsa pasar dan penjualan yang besar di pasar ponsel/smartphone yang sudah datar. Walaupun kelihatan heroik, kemungkinan berhasil nampaknya minim. Lebih baik memperhatikan marjin laba yang telah dihasilkan saat ini.
     Menjual variasi lain seperti ponsel “dumbphone” juga menimbulkan tanda tanya, meskipun harganya bisa dibawah Rp. 200.000. Masih kalah dalam nilai untuk pelanggan dibandingkan dengan smartphone termurah seharga Rp. 400.000 tetapi dengan jumlah fitur dan aplikasi yang jauh lebih banyak. Jumlah pengguna ponsel dengan tombol fisik semakin sedikit. Penggunaan perangkat dipakai (wearable device) seperti smartwatch saat ini masih belum sebanyak penggunaan smartphone mungkin karena segmen smartwatch masih baru. Apakah penjualan smartwatch dapat menyaingi smartphone beberapa tahun ke depan masih belum dapat diperkirakan. Alasannya karena ukuran rata – rata layar smartphone dianggap sudah yang “terkecil” untuk browsing dan menggunakan aplikasi secara nyaman. Smartphone tidak harus ditampakkan setiap saat seperti memakai smartwatch. Perusahaan yang ingin memproduksi smartphone harus memperhatikan kurva pertumbuhan sektor smartphone dan sektor IT secara keseluruhan. Arah kurva tersebut tergantung dari kontinuitas inovasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar